Perputaran Ekonomi Masyarakat Adat di Bali

img_20160918_221708

Di Bali, desa terdiri dari beberapa banjar. Di tempat saya, setiap banjar terbagi lagi menjadi menjadi tiga kelompok, atau diistilahkan tempek. Pembagian tempek ini terjadi sekitar awal 90an dan kebetulan ikut diprakarsai oleh bapak saya. Tujuannya agar memudahkan dan meringankan masyarakat jika ada kegiatan adat pun kegiatan keagamaan.

Pada awal pembentukan tempek, ada kekhawatiran akan terjadinya pecah belah warga adat. Namun kemudian dijelaskan bahwa setiap tempek harus tetap mengikuti aturan / awig adat di banjar. Namun masing – masing tempek juga boleh membuat AD/ART sendiri yang bepegang teguh pada aturan dasar adat gede / banjar dan dipertanggungjawabkan kepada adat gede / banjar. Usulan tersebut akhirnya diterima dan disepakati.

img_20160919_094735

Setiap Umanis Kuningan atau sehabis Galungan,  setiap tempek di bannjar kami melakukan paruman atau rapat pertanggungjawaban pengurus mengenai kegiatan dan keuangan selama enam bulan terakhir (kalendar bali).

Pada rapat hari ini,  dilaporkan tempek satu, telah memiliki kas sebesar IDR 59,857,467, yang diperoleh dari berbagai kegiatan dan menyewakan alat – alat upacara. Kebetulan banjar kami,  tempek satu, dua dan tiga memiliki beberapa set peralatan upacara, tenda dan memasak yang biasanya disewakan jika ada salah satu masyarakat yang memiliki upacara. Enam bulan terakhir ini,  tempek kami memperoleh dana sebesar IDR 3,380,000 dari sewa alat upacara ini. Itu merupakan pos penghasilan terbesar kedua yang didapat oleh tempek kami jika dilihat pemasukan enam bulan terakhir.

Kemudian untuk apa saja uang sebesar itu? Sebagian besar dipinjamkan kembali ke masyarakat yang tergabung dalam tempek yang sama. Nah, bunga pinjaman inilah yang merupakan penghasilan terbesar selama enam bulan kebelakang yaitu sebesar IDR 4,767,600. Selain itu, dana yang didapatkan tersebut juga digunakan untuk kegiatan upacara adat dan agama pada saat dibutuhkan.

Begitulah sebagian kecil siklus ekonomi masyarakat adat di Bali. Belum lagi jika dilihat dari sisi jual beli peralatan dan bahan upacara oleh masyarakat sendiri. Namun untuk urusan upacara adat dan agama,  sebagian besar biasanya masyarakat akan diringankan dengan sistem gotong royong. Pengerjaan banten dilakukan bersama – sama,  beberapa ada yang membeli juga. Begitu juga bahan upacara. Jika ada yang merasakan bahwa hidup menjadi masyarakat itu susah, mungkin ada baiknya ikut terjun dalam masyarakat adat itu sendiri, ikut bergotong royong atau mebraya dan jangan mengukurnya dari nilai uangnya melulu, tapi nilai yang kita dapatkan.

Nggak susah kok kalau dijalani. Hanya perlu sedikit pengorbanan waktu saja. Nah, bagaimana dengan warga adat di desa kalian?