Sekha Gong Kanaka Pangkaja: Mengolah Rasa, Mengolah Suara

img_20161025_082850

Semenjak bulan November 2015, terbentuklah sebuah perkumpulan atau Sekhe Gong Kanaka Pangkaja, di Merajan Gede. Sebelumnya, kami mendapat bantuan satu set gong lelambatan dari dinas kebudayaan propinsi atas bantuan saudara kami Agung Wirabumi (Pak Gadha).

Semenjak itu, kami terus berkumpul untuk mempelajari nada – nada sederhana namun rumit ini. Saya adalah salah satu orang yang baru belajar dan masih kosong dan saat itu langsung diminta memegang kendang (alat musik seperti drum). Kendang adalah pembawa tempo, sehingga tugas saya lumayan berat. Diawal terasa begitu rumit, karena saya belum memahami ketukan – ketukan dasarnya. Saya belum bisa menggunakan rasa untuk mendengarkan setiap paduan nada dari setiap instrumen. Tangan dan pikiran saya masih difokuskan ke cara memukul.

Sekitar empat bulan kemudian barulah saya mengerti bagaimana memainkan satu lagu. Saat itu kami belajar tabuh telu. Itu pun belum lancar 100%.

Hampir setiap malam saya datang berkumpul bersama teman – teman untuk belajar mengolah rasa melalui suara. Diawal – awal latihan, warga begitu antusias datang dan mengikuti latihan. Karena kesibukan lain di banjar, satu persatu kemudian tersaring.

Tadi malam, sebuah roh baru berkumpul. Saya memiliki keyakinan, roh ini akan semakin besar dan dewasa. Sekhe yang dibentuk bukanlah sekhe atas dasar pemaksaan seperti yang lazim dilakukan di banjar adat. Namun roh ini adalah sekumpulan orang yang ingin mengolah rasa melalui nada. Mereka yang datang adalah orang – orang yang ingin tetap menjaga dan membudayakan rasa kebersamaan.

Karena itu, sekhe ini tidak hanya berasal dari banjar kami, tetapi juga dari banjar sebelah (Bengkel Kawan). Made Wika (Pak Yogi) adalah sumber dari roh baru tersebut. Dia sudah memiliki pengalaman ngayah dibeberapa tempat di Bali. Umurnya masih muda namun memiliki berjuta pengalaman.

Ia bergabung dalam sekhe bersama teman lain dari Bengkel Kawan dengan tujuan yang sama yaitu sama – sama belajar mengolah rasa melalui nada. Dipadukan dengan pengalaman rekan – rekan di banjar sendiri, seperti Gede Mariono (Pak Ratih), Pak Angga yang juga memiliki tujuan sama, lengkaplah sudah.

Tadi malam kami belajar tabuh topeng keras dan monyer. Anehnya, tidak perlu waktu yang lama, kami sudah dengan cepat bisa menguasai kedua lagu tersebut. Inilah yang saya sebut sebagai roh baru. Semoga roh ini nanti dapat terus menjadi dewasa, sehingga mampu ngayah untuk menjaga dan mengembangkan budaya di Bali.