Sudut Pandang

Suatu hari saya berdiskusi mengenai sebuah kebenaran. Teman diskusi saya mengatakan, kebenaran tersebut adalah hukum, karena negara ini berlandaskan hukum. Hukum harus ditegakan, bagaimanapun caranya. Meskipun harus membuat akun palsu untuk mengalihkan opini pembaca dalam group itu pun menjadi sebuah kebenaran demi hukum dan konstitusi yang harus ditegakan.

Saya menyadari diskusi semacam ini adalah diskusi yang penuh dengan ego. Jika diskusi telah diliputi ego, maka yang ada hanyalah pembenaran dari ego kita masing – masing.

Saya jadi ingat sebuah bait dalam geguritan Sarasamuscaya yang mengisahkan cara pandang seorang Brahmana, lelaki yang sedang kasmaran dan seekor anjing dalam melihat satu object yaitu wanita. Begini baitnya:

Imba liyan, punika sang wus bhiksuka, brata pariwrajaka muni, miwah sang kamuka, geng raga sakténg kania, miwah i srigala malih, maka tatiga, ngaksi stri hayu adiri

Pada bina, penampénnya sang tetiga, wangké ling pariwrajaka muni, éling ring anitya tatwa, jegég ngayang ling kamuka, pun srigala nyengguh daging, wikalpaning manah, ngawé pebinan penampi.

 

Seorang Brahmana jika melihat seorang perempuan cantik dikatakan seperti melihat sebuah mayat hidup. Karena beliau sadar akan sifat sementara badan kasar. Sedangkan orang yang sedang kasmaran melihat wanita tersebut cantik tiada tara. Lain juga menurut anjing atau srigala, dia melihatnya sebagai daging yang layak untuk dimakan.

Begitupun jika kita berdiskusi tentang sebuah kebenaran. Tergantung dari sudut pandang yang mana kita melihatnya. Diperlukan kebijaksanaan dalam menentukan cara pandang kita dalam melihat kebenaran. Terkadang kita harus mampu berada pada sudut pandang yang berlawanan dengan sudut pandang awal kita. Jika tidak demikian, pikiran kita dalam menentukan sudut pandang hanya akan diliputi oleh ego yang tidak ada habisnya.

Semoga saja teman saya ini membaca dan mulai mencari kebenaran dalam dirinya sendiri yaitu sang diri sejati.

#tabik.