Seusai mengadakan relaunching dan bedah buku Shastra Wangsa oleh Bali Wisdom kemarin di Universitas Hindu Indonesia, Putu Yudiantara mengajak saya duet megegitan / geguritan untuk menghibur setelah hampir seharian memfokuskan diri pada acara. Wayan Dwitanaya dan Sutrisna Alverston tanpa isyarat lalu langsung mengambil kamera untuk merekam 🙂
Saya memilih untuk menyayikan beberapa bait dari geguritan Sucita Subudi, mengingat Putu Yudiantara sendiri yang memperkenalkan saya tentang arti dan ulasan dari salah satu pembukaan geguritan tersebut dalam tulisannya di Blog Bali Wisdom.
Tembang yang saya nyanyikan ini adalah pupuh Semarandana Cilinaya, yang dalam beberapa bulan terakhir ini saya pelajari dan dengarkan dari para pelaku dan pembaca sastra dirumah. Suksema Kak Gita Putri, Bli Ketut Widastra, Mangku Gede Wisna, Bli Sukandia Wayan, Pak Shanti, kanggoan amonean malu.
Sejujurnya ada banyak pesan yang disampaikan dalam sebuah gegitan yang banyak manfaatnya untuk kita dalam melakoni kehidupan ini. Hanya saja terkadang kita malas untuk menyanyikannya karena menganggap hal tersebut kuno dan hanya pantas dibaca dan dinyanyikan oleh generasi tua. Rasanya perlu ada sebuah jembatan untuk menyampaikan setiap pesan yang terkadung dalam setiap geguritan dan seni sastra ini dalam sebuah kemasan yang lebih menarik agar mudah dimengerti, terutama untuk anak – anak muda dalam memahami kehidupan.
Saat ini saya merasa sedang berada dipertengahan generasi. Ingin rasanya kami bisa menjadi jembatan tersebut dengan kemampuan yang kami miliki. Jika Putu Yudiantara saat ini sudah menjalankan Dharma Sesana nya dengan tulisan – tulisannya yang memiliki banyak penggemar, doakan kami agar mampu mengumpulkan dan menyampaikan maksud dari karya sastra Gegitan Bali dalam waktu dekat.