Ngigel Mesaput Poleng

Keberadaanku didunia saat ini adalah sebuah ujian yang telah terjadi kesekian kalinya, karena pada kehidupan sebelumnya jiwaku belum berhasil untuk melaluinya. Jiwaku tertarik kembali ke kehidupan ini untuk kembali menuntaskan apa yang dianggapnya belum tuntas di kehidupan sebelumnya. Setiap perjalanan jiwa didunia ini pasti akan terus diliputi oleh pertanyaan, Apa sesungguhnya tujuanku hidup?

Perjalanan dalam menemukan jawaban dari pertanyaan – pertanyaan yang kerap kali muncul dalam setiap langkah mengarungi perjalanan hidup ini tidak akan pernah habisnya. Jika menemukan jawaban dari satu pertanyaan, maka akan muncul kembali pertanyaan – pertanyaan lain untuk membantah ataupun mendukung jawaban yang muncul tersebut.

Sesungguhnya yang aku temukan dalam setiap perjalan ini hanyalah berupa suka dan duka. Disadari atau tidak, aku selalu mengejar objek yang sifatnya memberikan suka. Aku pun sadar, setiap aku mengejar suka, yang juga aku lewati adalah sakit, pahit dan getir. Lalu buat apa mencari Suka? “Tak akan ada suka jika tanpa duka. Tak akan ada kiri kalau tidak ada kanan. Tidak akan ada hitam jika tidak ada putih.” Sebuah kalimat sederhana yang pernah aku dengar dan baca.

Perjalanan hidup ini adalah sebuah lakon. Lakonku menari menggunakan saput poleng (hitam, putih dan abu – abu). Setiap suka maupun duka yang didapat, adalah sebuah konsekuensi logis dari apa yang aku lakukan. Melakoni setiap gerak kehidupan adalah kewajibanku untuk menghidupkan drama satu babak ini. Maka sewajarnya aku harus menerima apa pun yang aku dapat, suka maupun duka, untuk menjadi pemain yang dapat memberikan penampilan maksimal diatas panggung, sehingga para penonton drama satu babak ini pulang dengan rasa bahagia dan memperoleh manfaat dan pesan moral yang hendak aku sampaikan. Jika suka aku harus tertawa dan tersenyum. Jika duka, aku harus marah, sedih dan menangis. Semua itu harus aku lakukan dengan sepenuh hati agar lakonku hidup.

Hanya saja, aku harus tetap menjaga kesadaranku, bahwa saat ini aku sedang bermain diatas panggung kehidupan. Ekspresi suka dan duka yang aku tampilkan tersebut adalah sebuah tuntutan naskah yang harus aku mainkan agar drama ini hidup. Aku harus terus berlatih menjaga kesadaranku agar ia dapat melampaui suka dan duka itu. Agar karakter yang aku bawakan tidak selalu melekat saat aku diluar panggung. Aku terus menerus mengingatkan diriku, disaat aku sedang ingin mencari suka, itu hanyalah lakon. Terima saja konsekwensi duka yang akan datang.

Sesekali aku kembali ke belakang panggung. Disana tidak ada lagi yang aku sisakan. Suka duka aku lepaskan. Yang tersisa hanyalah sepi, sunya. Tak ada suka dan duka, kiri dan kanan, atas dan bawah, hitam dan putih. Sampai pada saatnya aku harus naik lagi keatas panggung untuk sebuah pertunjukan satu babak lainnya.