“Kaki-kaki, tiang mepengarah. I dadong kije?”
“I Dadong gelem jumah kebus dinging ngetor. Ngetor ngeed, ngeed ngeed. Ngeed kangin, ngeed kelod, ngeed kauh, ngeed kaja. Buin slae lemeng galungan, mebuah pang ngeed.”
Begitulah kira – kira sesontengan (doa bahasa khias) yang dilakukan oleh sejumlah umat Hindu di Bali di hari tumpek pengatag / tumpek bubuh hari ini. Doa tersebut ditujukan kepada tumbuh – tumbuhan yang ada di sekitar yang diumpamakan sebagai kakek (kaki) dan nenek (dadong) kita.
Mengapa di hari tumpek landep umat hindu berdoa kepada pohon? Mengapa pula pohon disebut dengan kakek dan nenek kita?
Tumpek pengatag ini adalah rangkaian Hari Raya Galungan, yang akan diadakan 25 hari setelah tumpek pengatag. Saat hari raya galungan, masyarakat Hindu di Bali akan memerlukan banyak sekali bahan – bahan dari berbagai jenis pepohonan, begitu juga buah – buahan. Mulai saat inilah sebagai penanda bahwa musim tanaman mulai berbunga dan berbuah tersebut akan dimulai.
Nah, agar tumbuh-tumbuhan dapat berbunga dan berbuah seperti yang diharapkan dan berguna nanti saat hari raya Galungan, masyarakat Hindu kemudian berkomunikasi dengan menggunakan media sesontengan tersebut kepada setiap pepohonan yang ada baik di pekarangan maupun di kebun.
Lalu, mengapa Kakek dan Nenek yang digunakan sebagai subjek komunikasi? Ilmu moderen sudah membuktikan bahwa pohon adalah species mahkluk hidup yang tertua yang ada di Bumi. Sebelum populasi hewan dan manusia bertumbuh di Bumi ini, pepohonanlah yang lebih dulu ada.
Karena itulah, tidak salah jika kemudian pepohonan disebut Kaki dan Dadong dalam sesontengan tersebut untuk menghormati keberadaan mereka. Jangan lupa, selain dapat memberikan makanan kepada tubuh kita pohon juga juga meneduhkan kita disaat kita kepanasan.