Sang Kala Tiga Wisesa

pengejukan galungan

Dunggulan Redite Paing, tumurun Sang Hyang Tiga Wisesa, marupa Kala ngaran Sang Bhuta Galungan, marep anadah hanginum maring madyapada, matangnia Sang Wiku mwang Sang Seyana, den partyaksa jaga, pasekung, kumekes, ikang adnyana nirmala, lamakana tan kasurupan dening Sang Bhuta Galungan, samangkana maka ngaraning panyekeban dening loka

Lontar Sundarigama

Begitulah sedikit kutipan yang saya ambil dari Lontar Sundarigama yang mengisahkan turunnya Sang Hyang Kala Tiga Wisesa, yang dimulai pada hari Redite Paing, Dungulan (3 hari sebelum hari raya Galungan). Disebutkan, Sang Hyang Kala Tiga Wisesa itu adalah:

  • I Butha Galungan, menggoda pikiran.
  • I Butha Dungulan, menggoda perkataan.
  • I Butha Amangkurat, menggoda tingkah laku.

Ketiga Bhuta tersebut disebut Sang Kala Tiga Wisesa yang akan turun menggoda umat manusia ke bumi dimulai pada hari Minggu, 3 hari sebelum galungan. Masing – masing bhuta turun dengan misinya sendiri – sendiri.

Dimulai pada hari pertama (Redite Paing, Dungulan), turun I Butha Galungan dengan maksud untuk menggoda manusia agar selalu merasa menang sendiri. Galungan sendiri bermakna berperang / menyerang. Bisa diartikan bahwa serangan pertama oleh I Butha Galungan kepada manusia berupa sifat ingin menang sendiri. Yang diuji adalah ego / ahamkara kita. Diharapkan, pada hari ini kita mampu menguasi ego / sifat ingin menang sendiri sebelum nantinya kita melanjutkan peperangan berikutnya di hari ke-dua dengan I Butha Dungulan.

Dalam lontar Sundarigama disebutkan, agar manusia mampu menghadapi serangan I Butha Galungan ini, kita harus bisa Anyekung Jnana, yang artinya mampu mendiamkan pikiran, karena serangan yang dilakukan I Butha Galungan diarahkan ke manah / pikiran manusia sendiri.

Sebagai simbol, di hari turunnya I Butha Galungan ini untuk menggoda ego manusia, masyarakat Bali biasanya mulai membuat tape. Para ibu – ibu biasanya mulai mempersiapkan bahan tape, untuk kemudian disekeb (disimpan) agar nantinya bisa matang. Tape sendiri bisa bermakna tapa, yaitu setiap orang yang ingin mencapai kematangan spiritual dalam kehidupannya. Tentu agar matang, perlu proses penyekeban, proses pengendalian diri agar tidak dikuasi oleh ego. Manusialah yang seharusnya menguasai egonya, bukan malah sebaliknya.

Di hari kedua, I Butha Dungulan lalu turun untuk kembali menggoda dan menguasai manusia agar mau memamerkan kekuatan, kemampuan, kekayaan, kesombongan dan lain sebagainya. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari ini merupakan “Pengastawaning Sang Ngamong Yoga Semadhi”. Yang diserang oleh I Butha Dungulan adalah perkataan manusia. Ia akan menggoda manusia untuk berkata – kata kasar agar saling menyakiti satu sama lainnya. Dungulan sendiri bermakna menundukan / mengalahkan. Diharapkan pada hari ini umat manusia sudah bisa menundukan / mengendalikan egonya dan tidak berkata – kata yang menyakiti.

Pada hari ini, masyarakat bali biasanya menyimbolkannya dengan melakukan pengejukan hewan berupa Babi. Babi digunakan sebagai simbol karena Babi adalah satu hewan yang memiliki sifat tamah / malas. Sifat malas inilah yang biasanya menggagalkan setiap usaha manusia untuk mampu melewati godaan I Butha Dungulan. Untuk itu, perlu diikat (diejuk), sifat malas dan perkataan – perkataan yang menyakiti tersebut dengan cara melakukan Tapa Samadhi dan memuja ista dewata.

Selanjutnya godaan terakhir datang dari I Butha Amangkurat yang akan menggoda perilaku manusia untuk berbuat tidak baik. Sifatnya selalu ingin menguasai, baik bhuwana agung maupun bhuwana alit. Ia akan menggoda manusia agar selalu berbuat tamasika.

Maka dari itu, sebagai simbol untuk membunuh sifat tamasika tersebut masyarakat di Bali menyimbolkannya dengan hari penampahan. Sifat – sifat tamasika yang ada dalam diri (bhuwana alit) itulah yang sepatutnya dibunuh, sehingga diharapkan adanya keselarasan di bhuwana agung.

Namun, saat ini ada pergeseran di masyarakat dalam memahami simbol – simbol ini. Tradisi membuat tape tidak lagi banyak dilakukan. Penampahan pun sudah bergeser, tidak lagi dilakukan di Anggara Dungulan, melainkan sekalian saja langsung di Soma Dungulan dengan alasan lebih praktis dan lebih cepat dalam pembagian dan mengolah dagingnya. Sehingga di Anggara sudah tidak memikirkan lagi hal – hal lainnya.

Nah menyambut hari Suci galungan ini, saya mengajak teman – teman pembaca sekalian untuk kembali mengukur pemahaman kita tentang Hari Raya Galungan sendiri. Sudahkan kita bisa Anyekung Jnana? Sudahkan kita mampu mengendalikan cara bicara dan prilaku kita? Sejauh mana kita memahami simbol – simbol yang telah diwariskan oleh luluh kita?

Bengkel Gede,
Saniscara Umanis Sungsang,
22 Desember 2018